Rona Rasa Dibalik Kanvas
Chapter 1: Pertemuan di
Balik Kanvas
Alya selalu menyukai
ketenangan pagi hari di galeri seni. Dinding putih bersih, karya-karya seni
yang digantung dengan rapi, dan cahaya alami yang menerobos masuk melalui
jendela besar. Itu adalah dunianya, teratur, elegan, tanpa kekacauan. Namun, di
balik semua ketenangan itu, ada kerinduan yang tak pernah bisa ia ungkapkan.
Pagi itu, dia menerima
sebuah undangan dari temannya, Sinta, untuk mengunjungi sebuah pameran seni
jalanan di pinggiran kota. Awalnya, Alya ragu. Seni jalanan? Bukan kelasnya.
Namun, dorongan rasa ingin tahu dan desakan Sinta membawanya ke sebuah ruang terbuka
yang dipenuhi seniman jalanan. Suasana ramai dan penuh warna itu sangat kontras
dengan dunia seni formal yang ia kenal.
Di tengah keramaian, Alya
melihat sebuah kanvas besar yang menggambarkan pemandangan abstrak dari kota.
Warnanya cerah, liar, dan penuh emosi. Seorang pria, dengan pakaian yang
berantakan dan penuh noda cat, sedang menyelesaikan detail terakhir dari
lukisan itu. Raka.
“Bagus, ya?” Sinta
berbisik di sampingnya. “Dia salah satu seniman jalanan paling berbakat di kota
ini.”
Alya mengangguk, matanya
masih terpaku pada karya di depannya. Ada sesuatu dalam lukisan itu yang
menggerakkan perasaannya, sebuah ekspresi kebebasan yang selama ini ia
dambakan, namun tak pernah ia temukan dalam karya-karya formal di galerinya.
Setelah pameran selesai,
Alya mendekati Raka yang sedang membersihkan peralatannya.
"Anda seniman di
balik lukisan ini?" tanyanya, suaranya terdengar lebih formal dari yang ia
inginkan.
Raka tersenyum tipis,
lalu mengangguk. “Iya, tapi aku lebih suka disebut pelukis jalanan. Seniman
terdengar terlalu berat.”
Alya menahan senyum. Ada
kejujuran dalam kata-kata Raka yang membuatnya merasa tenang. “Lukisan Anda...
sangat berbeda dari yang biasanya saya lihat di galeri. Bagaimana Anda memilih
tema dan warna?”
Raka mengangkat bahu, mengusap
tangannya yang belepotan cat ke celananya. “Aku tidak memilih. Warna-warna itu
memilihku. Aku hanya mengikuti perasaan.”
Jawaban itu membuat Alya
terdiam. Dalam dunia seni yang dia kenal, segala sesuatu harus terencana dan
terstruktur. Tapi pria ini... dia hanya mengikuti kata hatinya.
Pertemuan itu menjadi awal dari serangkaian
percakapan antara Alya dan Raka. Semakin sering mereka bertemu, semakin dalam
Alya terpesona oleh dunia Raka yang bebas dan penuh ekspresi. Bagi Raka, Alya
adalah angin segar yang mengingatkannya bahwa meski dunia seni formal kaku, ada
sisi lembut dan indah dari mereka yang hidup di dalamnya.
Namun, cinta mereka tak lepas dari ujian. Tekanan
pekerjaan Alya semakin meningkat ketika bosnya, Aditya, melihat potensi
komersial dari karya-karya Raka. Alya diminta untuk "membentuk" Raka
agar bisa diterima di galeri mereka, namun Raka menolak mentah-mentah. Bagi
Raka, seni bukanlah tentang uang atau pengakuan, melainkan tentang kebebasan
jiwa.
Di balik kanvas, mereka menemukan cinta, tetapi
apakah cinta itu cukup kuat untuk mengatasi perbedaan besar di antara mereka?
Baca terus keseruannya.
Lanjutan…
Setelah pertemuan pertama itu, Alya merasa ada
yang berubah dalam dirinya. Dunia yang selama ini ia anggap sempurna galeri
seni yang teratur, pameran yang megah, dan karier yang menanjak tiba-tiba
terasa membosankan. Raka, dengan kesederhanaan dan kebebasannya, telah membuka
sebuah pintu dalam pikirannya yang lama terkunci.
Sementara itu, Sinta memperhatikan perubahan
dalam diri Alya. Di kafe tempat mereka biasa bertemu, Sinta mengangkat alis
ketika Alya terlihat lebih banyak melamun.
“Kamu kelihatan aneh belakangan ini, Alya,” kata
Sinta sambil mengaduk kopinya. “Apa yang ada di pikiranmu?”
Alya tersenyum, mencoba menyembunyikan kebingungannya.
“Entah kenapa, sejak ketemu Raka, aku mulai merasa ada sesuatu yang hilang
dalam hidupku. Rasanya, selama ini aku terlalu fokus pada karier dan lupa bahwa
seni itu harusnya juga bisa dinikmati, bukan hanya dinilai.”
Sinta tersenyum bijak. “Raka memang seperti itu.
Dia selalu hidup dengan hati, bukan dengan kepala. Tapi hati-hati, Alya, dia
juga tipe orang yang tidak bisa dikendalikan. Apa kamu siap menghadapi itu?”
Alya terdiam. Ia tidak pernah berpikir bahwa
pertemuannya dengan Raka bisa menjadi lebih dari sekadar diskusi seni. Namun,
ada sesuatu tentang pria itu yang memaksanya keluar dari zona nyaman.
Lanjutan…
Minggu berikutnya, Alya mengunjungi tempat bekerja
Raka sebuah studio sederhana di pinggir kota, penuh dengan kanvas, cat, dan berbagai
barang seni yang berantakan. Di sana, ia melihat Raka bekerja dengan intens,
menciptakan sesuatu yang tampak spontan dan penuh gairah. Lukisan-lukisan itu
berbeda jauh dari karya-karya yang biasa ia lihat di galeri, tapi justru itulah
yang menariknya.
“Kamu datang lagi,” kata Raka sambil menoleh
sekilas ke arah Alya yang berdiri di pintu. Senyumnya hangat, seolah tak ada
jarak di antara mereka.
“Aku tertarik dengan caramu bekerja,” jawab Alya,
mendekat ke arah salah satu kanvas. “Aku ingin tahu bagaimana kamu bisa membuat
semua ini begitu hidup.”
Raka berhenti melukis, menatap Alya sejenak. “Aku
melukis bukan untuk membuatnya sempurna. Aku melukis apa yang aku rasakan, apa
yang terjadi dalam diriku saat itu. Setiap warna punya ceritanya sendiri.”
Alya terdiam. Bagi Raka, seni adalah tentang
emosi, bukan aturan atau estetika yang disetujui. Dia sadar bahwa mereka
berasal dari dua dunia yang sangat berbeda, tapi itu justru membuatnya semakin
ingin mengenal Raka lebih jauh.
“Apa kamu pernah memamerkan karyamu di galeri?”
Alya bertanya hati-hati.
Raka tertawa kecil. “Galeri? Bukan tempatku. Di
sana, orang-orang hanya melihat karya untuk menilai, bukan merasakannya.”
Alya merasa tertantang. Sebagai kurator, tugasnya
adalah memperkenalkan seni kepada publik. Namun, Raka membuatnya sadar bahwa
seni sejati bukan hanya tentang teknik atau pengakuan, tapi juga tentang
pengalaman pribadi dan kebebasan berekspresi.
Lanjutan…
Waktu berlalu, dan pertemuan Alya dengan Raka
semakin sering terjadi. Mereka mulai saling mengenal lebih dalam, bukan hanya
sebagai seniman dan kurator, tapi sebagai dua individu yang memiliki pandangan
hidup yang sangat berbeda.
Di satu sisi, Alya merasa bahwa Raka telah
membuka matanya pada makna seni yang lebih dalam. Dia mulai mempertanyakan pilihannya
selama ini apakah ia benar-benar mencintai seni, atau hanya mengejar kesuksesan
dalam kariernya?
Namun, di sisi lain, Alya merasa terjebak antara
dua dunia. Bosnya, Aditya, mulai memintanya untuk membawa
seniman-seniman baru yang "menjanjikan" ke galeri. Dan setelah
melihat karya Raka, Aditya yakin bahwa pelukis jalanan itu bisa menjadi sensasi
baru di dunia seni formal.
“Alya, aku ingin kamu membawa dia ke galeri.
Dengan sedikit polesan, karyanya bisa dijual dengan harga tinggi,” kata Aditya
saat mereka berdiskusi di kantor.
“Tapi, Raka bukan tipe seniman yang tertarik
dengan komersialisasi seni,” jawab Alya. “Dia tidak melukis untuk uang atau
pengakuan.”
Aditya menghela napas panjang. “Itulah tugasmu.
Bujuk dia. Seni adalah bisnis, Alya. Kalau dia punya bakat, kita harus
manfaatkan. Dia bisa menjadi bintang baru di dunia seni kita.”
Alya merasa dilema. Dia ingin membantu Raka
mendapatkan pengakuan, tapi dia juga tahu bahwa Raka tidak akan pernah mau
tunduk pada aturan-aturan galeri yang ketat. Dan jika dia memaksa Raka, mungkin
hubungan mereka kedepan akan menjadi tidak baik.
To be Continue.
Creator: Ihsan Mulia Siregar
Posting Komentar