Chapter 2 : Pilihan Yang Sulit
Pada suatu sore, Alya bertemu Raka di studionya.
Di tengah obrolan santai, Alya akhirnya memberanikan diri untuk membicarakan
tawaran dari galeri.
“Raka, aku ingin menawarkan sesuatu,” katanya
dengan hati-hati. “Galeri tempatku bekerja ingin memamerkan karyamu. Dengan
syarat beberapa hal yang harus diubah.”
Raka terdiam sejenak, tatapannya serius. “Apa
maksudmu, Alya?”
“Mereka ingin karyamu lebih formal. Mungkin ada
sedikit perubahan dalam cara kamu menyajikan karya. Ini kesempatan besar
untukmu, Raka. Kamu bisa dikenal oleh banyak orang.”
Wajah Raka berubah. “Aku tidak melukis untuk itu,
Alya. Aku tidak bisa berubah hanya demi menyenangkan orang-orang yang tidak
mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan saat melukis.”
Alya merasa kecewa, baik pada dirinya sendiri
maupun pada situasi ini. Dia tahu apa yang dia lakukan tidak benar, tapi di
sisi lain, dia ingin membantu Raka mencapai kesuksesan yang lebih besar.
“Ini bukan tentang merusak karya senimu, Raka,”
Alya mencoba membujuknya. “Ini tentang kesempatan untuk menunjukkan pada dunia
apa yang bisa kamu lakukan.”
Tapi Raka menggeleng pelan. “Aku tidak butuh
dunia, Alya. Aku hanya butuh melukis apa yang aku rasakan. Jika itu tidak cukup
untuk mereka, maka biarlah.”
Alya terdiam. Di saat itu, dia sadar bahwa cinta
dan hubungan tidak selalu bisa mengatasi perbedaan visi yang begitu besar.
Cinta mereka, sekuat apa pun, mungkin tidak bisa menyatukan dua dunia yang
sangat berbeda.
Cinta di Tengah Kegelisahan
Alya pulang malam itu dengan pikiran kacau.
Pertemuannya dengan Raka di studio meninggalkan perasaan hampa. Dia memahami
prinsip Raka, tapi dia juga merasa gagal. Di satu sisi, dia tidak ingin menekan
Raka untuk berubah, namun di sisi lain, dia terikat oleh tuntutan pekerjaan dan
ekspektasi Aditya. Malam itu, untuk pertama kalinya, Alya mempertanyakan tujuan
hidupnya.
Di rumahnya yang minimalis namun elegan, Alya
duduk di meja kerjanya dan memandang koleksi catatan kerjanya. Tawaran Aditya
untuk mengorbitkan Raka tampak menggoda. Tapi hatinya tak bisa tenang.
Sinta, yang biasanya menjadi
pendamping Alya dalam menghadapi kebingungan seperti ini, meneleponnya.
“Alya, kamu kelihatan gelisah sejak bertemu Raka. Apa yang sebenarnya terjadi?”
tanya Sinta dengan nada perhatian.
Alya menceritakan semua yang ada di pikirannya.
“Aku merasa terjebak. Aku ingin Raka dikenal lebih banyak orang. Karyanya
indah, Sinta, tapi dia tidak mau berkompromi. Aku mulai berpikir, mungkin kita
terlalu berbeda.”
Sinta tersenyum tipis di ujung telepon. “Kamu
jatuh cinta, Alya. Tapi cinta itu memang selalu menguji kita. Mungkin ini
saatnya kamu mempertimbangkan apa yang benar-benar kamu inginkan dalam hidup bukan
cuma soal pekerjaan, tapi juga soal perasaan.”
Perasaan yang dipendam selama ini mulai mengemuka
di hati Alya. Apakah dia lebih peduli pada pekerjaannya, atau pada cinta yang
sedang tumbuh? Pikirannya terus berputar hingga larut malam, dan dia tak bisa
memejamkan mata dengan tenang.
Di Antara Dua Dunia
Beberapa hari berlalu. Alya mencoba
menenggelamkan diri dalam pekerjaan untuk melupakan kegelisahannya, tapi setiap
kali dia berada di galeri, bayangan Raka dan percakapan mereka terus menghantui
pikirannya. Bahkan lukisan-lukisan di galeri yang biasanya membuatnya merasa
bangga kini terlihat kosong dan tanpa jiwa.
Aditya, yang menyadari kegelisahan Alya,
memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri. Dia menghubungi Raka tanpa
sepengetahuan Alya, menawarkan pameran besar dan menjanjikan penghasilan besar
dari karyanya. Bagi Aditya, seni adalah bisnis dan dia tahu potensi komersial
Raka.
Suatu sore, ketika Alya sedang bekerja di galeri,
Raka muncul di sana. Alya kaget melihatnya, terutama karena wajah Raka tampak
tegang, sesuatu yang jarang ia lihat pada pria itu.
“Aku bicara dengan bosmu tadi,” kata Raka, tanpa
basa-basi. “Dia bilang aku bisa mengadakan pameran di sini, tapi dengan syarat
aku harus mengubah gayaku, harus menyesuaikan karya-karyaku dengan selera
pasar.”
Alya terkejut, sekaligus marah. “Aditya tidak
seharusnya menghubungimu tanpa memberitahuku.”
“Tapi itulah kenyataan di dunia kalian, kan?”
Raka berkata dengan nada sinis. “Segalanya harus sesuai dengan keinginan orang
lain, harus laku dijual, bukan tentang apa yang seniman rasakan.”
Alya merasa tersudut. “Aku tidak pernah ingin
memaksamu, Raka. Tapi aku juga ingin kamu bisa mencapai lebih banyak orang,
agar dunia bisa melihat betapa hebatnya karyamu.”
Raka menatap Alya dengan mata penuh kekecewaan.
“Kamu benar-benar tidak mengerti, ya? Aku tidak melukis untuk pengakuan orang.
Kalau aku harus kehilangan jiwaku demi itu, aku lebih baik tetap berada di
jalanan.”
Alya terdiam, hatinya
tersayat. Dalam kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti mereka, dia sadar bahwa ada jurang besar yang memisahkan mereka,
yang mungkin tidak bisa dijembatani.
Luka yang Terbuka
Setelah pertengkaran itu, Raka menjauh dari Alya.
Dia berhenti membalas pesan-pesannya, dan Alya pun merasa kehilangan. Hatinya
berat, dan dia tidak bisa fokus pada apa pun. Hari-harinya di galeri terasa
kosong tanpa kehadiran Raka dalam hidupnya.
Suatu malam, Sinta datang berkunjung ke apartemen
Alya dengan membawa sebotol anggur dan pizza. “Kamu terlihat kacau,” kata Sinta
sambil duduk di sofa, memandang Alya yang duduk lesu di sebelahnya.
“Aku merasa semuanya salah,” jawab Alya,
memandang keluar jendela yang memperlihatkan gemerlap kota. “Raka menjauh. Aku
tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.”
Sinta menghela napas dan menatap Alya
dalam-dalam. “Kadang, cinta itu soal memberi ruang. Kamu dan Raka punya jalan hidup
yang berbeda, tapi bukan berarti kalian tidak bisa saling menemukan lagi.
Mungkin sekarang saatnya kamu juga menemukan apa yang benar-benar kamu
inginkan.”
Alya terdiam. Kata-kata Sinta menusuk dalam,
karena ia tahu apa yang dimaksud temannya. Mungkin selama ini dia terlalu fokus
pada karier dan pada apa yang diharapkan oleh orang lain Aditya, galeri, dunia
seni komersial hingga dia lupa pada dirinya sendiri.
Di tengah malam itu, Alya memutuskan sesuatu.
Esok harinya, dia mengirimkan surat pengunduran diri ke Aditya. Dia tahu bahwa
dunia galeri bukan lagi tempatnya, bukan ketika seni yang dia yakini tak lagi
tentang kebebasan dan perasaan, tetapi tentang angka dan keuntungan.
Mencari Diri Sendiri
Setelah meninggalkan pekerjaannya di galeri, Alya
merasa bebas untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Namun, kebebasan ini juga
membawa kebingungan. Dia tidak tahu harus mulai dari mana, atau apa yang harus
dia lakukan selanjutnya. Tapi dia tahu satu hal: dia tidak bisa membiarkan
hubungannya dengan Raka berakhir begitu saja.
Di suatu pagi yang cerah, Alya memutuskan untuk
mengunjungi studio Raka. Hatinya berdebar, tidak tahu apa yang akan terjadi.
Ketika dia tiba di sana, Raka sedang duduk di depan sebuah kanvas kosong,
tatapannya kosong.
Raka menoleh saat mendengar langkah Alya, tapi
tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya kelelahan. “Kamu di sini,” katanya
dengan nada datar.
“Ya, aku di sini,” jawab Alya sambil berjalan
mendekat. “Aku sudah berhenti dari galeri.”
Raka menatapnya, jelas terkejut. “Kenapa?”
Alya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
“Karena aku ingin menemukan kembali apa yang benar-benar aku cintai. Selama ini
aku bekerja untuk kepentingan orang lain, dan aku lupa bahwa seni seharusnya
membawa kebebasan, bukan tekanan.”
Raka terdiam, merenungkan kata-kata Alya. “Aku
tidak pernah ingin kamu memilih antara aku atau kariermu, Alya.”
“Aku tahu,” jawab Alya dengan lembut. “Tapi ini
bukan tentang memilih antara kamu dan pekerjaanku. Ini tentang menemukan jati
diriku lagi. Dan dunia yang kamu tunjukkan padaku membuatku sadar bahwa hidup
ini lebih dari sekadar kesuksesan atau pengakuan.”
Suasana hening di antara mereka, namun kali ini
bukan karena perbedaan, melainkan karena pemahaman. Raka berdiri dan berjalan
mendekati Alya. Tatapannya lembut, dan senyum tipis terbentuk di wajahnya.
“Mungkin kita bisa mulai dari awal lagi,” kata
Raka dengan nada rendah. “Tanpa tekanan, tanpa ekspektasi.”
Alya tersenyum, matanya mulai berembun. “Aku
ingin itu lebih dari apa pun.”
To be Continue.
Creator: Ihsan Mulia Siregar
Posting Komentar