Rona Rasa Dibalik Kanvas Chapter 4


RONA RASA DIBALIK KANVAS

Chapter 4: Cinta dan Keraguan

Setelah pameran, Alya dan Raka kembali ke studio, tetapi suasana hati mereka mulai berbeda. Raka merasa cemas tentang tawaran Aditya, sedangkan Alya lebih bersemangat untuk mengeksplorasi peluang baru.

“Aku tidak ingin kita kehilangan fokus,” kata Raka saat mereka bersantai di sore hari. “Seni kita harus tetap menjadi refleksi diri kita, bukan komoditas.”

“Aku setuju, Raka. Namun, ini juga kesempatan untuk menjangkau lebih banyak orang. Mungkin kita bisa menginspirasi lebih banyak seniman muda,” balas Alya.

Raka menghela napas. “Kau tahu, aku tidak ingin kita terjebak dalam siklus yang sama seperti sebelumnya. Ini adalah langkah yang berisiko.”

Alya merasa frustasi. “Tapi ini bukan tentang mengorbankan apa pun. Kita masih bisa menjadi diri kita sendiri. Aku hanya ingin kita menjelajahi kemungkinan ini bersama.”

Malam itu, suasana di studio menjadi tegang. Alya merasa terjebak antara keinginan untuk maju dan kekhawatiran Raka yang mendalam. Mereka sepakat untuk tidak membahasnya lebih lanjut hingga perasaan masing-masing lebih jelas.

Beberapa minggu berlalu tanpa pembicaraan lebih lanjut mengenai tawaran Aditya. Alya merasa terasing, sementara Raka juga terlihat tidak nyaman. Keduanya menghabiskan waktu lebih banyak di studio, tetapi suasana hati mereka jauh dari ceria.

Suatu malam, saat Alya sedang menyelesaikan puisi di kanvasnya, Raka menghampirinya. “Alya, kita perlu berbicara. Aku tidak ingin kita berlarut-larut dalam ketegangan ini.”

Alya menatap Raka dengan serius. “Aku tahu, Raka. Aku merasa ada jarak di antara kita. Apa kita terlalu terfokus pada pameran dan kesempatan ini sehingga kita melupakan apa yang penting?”

“Aku hanya ingin kita tetap bersama, dalam hal apa pun yang kita pilih,” jawab Raka, suaranya pelan. “Tapi aku juga tidak ingin kehilangan diri kita dalam prosesnya.”

Alya meraih tangan Raka. “Aku tidak ingin kehilangan kita. Mari kita buat keputusan bersama. Kita bisa melakukan yang terbaik dengan tawaran Aditya tanpa mengorbankan diri kita.”

Raka tersenyum, merasakan kelegaan. “Baiklah, mari kita lakukan ini bersama-sama. Kita akan berpegang pada prinsip kita, tidak peduli seberapa besar peluang yang datang.”

Alya dan Raka sepakat untuk menerima tawaran Aditya, tetapi dengan satu syarat—mereka akan tetap memegang kendali atas karya mereka. Mereka merencanakan beberapa acara berbicara di mana mereka bisa menjelaskan proses kreatif mereka dan pentingnya seni yang tulus.

Ketika mereka tiba di acara pertama, Alya merasa gugup. Raka merasakan hal yang sama, namun mereka saling mendukung. Ketika giliran mereka untuk berbicara, Alya mengambil napas dalam-dalam dan mulai menjelaskan perjalanan mereka, menggambarkan bagaimana mereka menemukan seni sebagai bentuk ungkapan diri dan cinta.

“Bagi kami, seni bukan hanya tentang apa yang terlihat di atas kanvas,” kata Raka, berbicara dengan percaya diri. “Ini tentang emosi, pengalaman, dan koneksi. Kami ingin setiap orang merasa bahwa mereka memiliki tempat dalam dunia seni.”

Pengunjung tampak terinspirasi, dan banyak dari mereka bertepuk tangan setelah sesi mereka berakhir. Alya dan Raka merasa lega, merasakan bahwa mereka benar-benar dapat berbagi visi mereka dengan dunia.

Seiring berjalannya waktu, Alya dan Raka terus menghadiri acara-acara seni, melakukan workshop, dan berbagi cerita mereka. Mereka semakin dikenal bukan hanya sebagai seniman, tetapi juga sebagai mentor bagi banyak orang.

Suatu hari, ketika mereka sedang berjalan-jalan di taman, Raka menatap Alya dengan serius. “Alya, aku ingin membahas sesuatu yang penting. Bagaimana dengan pameran solo kita?”

Alya terkejut. “Pameran solo? Apa maksudmu?”

“Kita sudah bekerja sama dengan banyak orang. Sekarang saatnya kita menunjukkan siapa kita sebagai individu. Aku ingin menunjukkan karya-karya kita yang terpisah, tetapi tetap terhubung,” jawab Raka.

Alya berpikir sejenak. “Itu bisa jadi langkah besar. Tapi kita harus memastikan bahwa ini tidak mengubah hubungan kita. Kita harus saling mendukung.”

“Sepakat. Kita akan mendiskusikannya dan merencanakannya bersama,” Raka menjawab dengan antusias.

Mempersiapkan pameran solo menjadi tantangan baru bagi Alya dan Raka. Mereka mulai merancang karya yang akan ditampilkan, mengeksplorasi tema-tema yang lebih dalam mengenai cinta, kehilangan, dan harapan.

Selama proses itu, mereka merasakan tekanan dan ekspektasi yang baru. Alya kadang merasa cemas tentang bagaimana karyanya akan diterima, sementara Raka berusaha menjaga fokusnya pada seni.

“Raka, bagaimana jika orang tidak menyukai karyaku?” tanya Alya suatu malam saat mereka sedang mengecat kanvas.

Raka menghentikan pekerjaannya dan menatap Alya. “Kita tidak bisa mengontrol bagaimana orang lain melihat seni kita. Yang bisa kita lakukan adalah menciptakan dengan jujur dan tulus. Itulah yang akan berbicara kepada orang-orang.”

Kata-kata Raka menyentuh hati Alya. Dia merasa diberdayakan untuk melanjutkan dan menggali lebih dalam.

Hari pameran solo Alya dan Raka tiba. Mereka mengatur galeri dengan cermat, memastikan bahwa setiap karya dapat terlihat dan terasa. Rasa cemas dan kegembiraan menyelimuti mereka saat pengunjung mulai berdatangan.

Selama malam pameran, Alya dan Raka saling mendukung satu sama lain, memberikan semangat ketika mereka melihat respon positif dari para pengunjung. Karya-karya mereka ditanggapi dengan antusias, dan banyak orang tergerak oleh emosi yang terkandung di dalamnya.

Di tengah keramaian, Aditya menghampiri mereka. “Karya kalian luar biasa. Ini adalah langkah besar bagi kalian berdua.”

“Terima kasih, Aditya. Kami merasa ini adalah cara untuk menunjukkan siapa kami sebenarnya,” jawab Raka.

Alya tidak bisa menahan senyum. “Kami sangat berterima kasih atas semua dukunganmu. Tanpa bimbinganmu, mungkin kami tidak akan sampai di sini.”

To be Continue 

Creator: Ihsan Mulia Siregar


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama